Pengalaman Berkekurangan Dan Berkelebihan



6 Juli 2015
Oleh: dr. Lie A. Dharmawan, PhD, FICS, SpB, SpBTKV

23 Juni 2015, kami sampai di Desa Gagemba setelah menempuh jalan darat sejauh 25 kilometer dari Sugapa, ibukota Kabupaten Intan Jaya, Provinsi Papua.

Gagemba adalah sebuah desa yang sangat terpencil, bahkan boleh dikatakan terisolir. Desa ini bahkan belum pernah dikunjungi oleh tenaga kesehatan sejak kemerdekaan Indonesia.

Kami menginap semalam di dalam gereja, di atas bangku-bangku kebaktian umat. Masyarakat Gagemba sudah memberikan yang terbaik dan yang terbaik itu adalah kita tidur di atas bangku gereja yang beralaskan papan dan banner. Masyarakat sendiri tidur di atas honai yang saat itu sedang penuh sesak dengan bara api di dalamnya karena banyak warga desa lain menginap.



Kami melakukan pelayanan medis pada keesokan harinya (24 Juni 2015) di halaman gereja.

Pelayanan yang sudah ditunggu-tunggu sekian puluh tahun lalu oleh masyarakat diungkapkan oleh pendeta gereja. “Doa kita dikabulkan oleh Tuhan pada hari ini.” Ratusan umat berdatangan dari berbagai desa di lereng gunung dan menerima pengobatan dan operasi.

Setelah pelayanan medis selesai pada sore harinya, sekitar pukul 16.45 WIT, saya mengajak anggota kami sendiri, Sylvie Tanaga untuk keluar sebentar melihat keadaan sekeliling. Saudara Junaedi, anggota tim lapangan mau ikut, namun saya menolaknya karena ia sedang berpuasa. Saya tak ingin dia sampai terlambat berbuka.

Perjalanan yang kami rencanakan hanya akan berlangsung belasan menit hingga paling lama 30 menit, ternyata berlanjut menjadi “petualangan” dalam kegelapan dan medan sulit di hutan pegunungan tengah di Papua. Kami menuruni jalan setapak ke arah kiri.

Setelah berjalan kurang lebih 15 menit dan menikmati keindahan alam yang cantik permai, kami berjumpa dengan seorang bapak yang sedang memikul batang pohon. Saya coba mengutarakan bahwa kami tersesat dan meminta panduan pulang.

Bapak ini serta merta menaruh kedua batang pohon yang dipikulnya, lalu mengantar kami menuruni lereng gunung yang terjal, gelap dan licin ke sebuah kampung. Di kampung ini, kami mengunjungi dua honai (rumah) orang Papua asli.

Honai pertama adalah honai untuk perempuan dan honai kedua hanya untuk lelaki. Di dalam kesulitan, ide-ide “genial” (kata sifat dari genius) selalu lahir. Kami berusaha menjelaskan bahwa kami adalah tim dokter yang menginap di gereja dan melakukan pelayanan medis.

Empat orang bapak bersedia mengantar kami ke rumah (honai) bapak pendeta. Ternyata di honai hanya ada adik pendeta dan bersedia mengantar kami ke tujuan.

Naik turun lereng gunung lagi dalam kegelapan, kaki saya mulai protes dan kurang setuju namun perintah dari pikiran waras harus dituruti. Dengan beberapa kali jeda untuk menambah kadar oksigen dalam darah, akhirnya hati saya bersorak ketika mendengar suara teriakan pertama dari lembah yang segera saya sahuti dengan teriakan membahana.

Tidak lama kemudian, tampaklah remang-remang api unggun yang segera menjadi lebih nyata dan anggota-anggota tim yang sama gembiranya karena kami berdua telah selamat kembali.

Ketika saatnya istirahat malam, saya merenungkan peribahasa yang mengatakan bahwa kami tidak dapat membeli segala-galanya.

Batasan kemiskinan yang mendefinisikan bahwa mereka yang tak sanggup membelanjakan 2 dollar AS per hari adalah orang miskin, tidak berlaku bagi kami saat itu. Di kantung saya ada Rp 2.000.000 atau setara 150 dollar AS ternyata tidak dapat membawa kami kembali.

Di saat kami kelelahan, kedinginan, dan was-was akan bagaimanakah caranya kami pulang, terpikirkan betapa enaknya kalau saja kami bisa memesan sebuah taksi atau menyetop bajaj ataupun ojek entah ojek motor ataupun sepeda.

Walaupun punya telepon genggam, tanpa signal kami tak mungkin berkomunikasi dengan siapapun apalagi memesan taksi yang juga tidak tersedia. Jangankan taksi, ojek pun tak ada. Bagaimana menyediakan sarana transportasi, kalau prasarananya pun belum ada.

Pengalaman singkat saya telah menambah kesadaran akan “lingkaran setan” yang dihadapi oleh orang Papua yang hidup di pegunungan. Di titik mana lingkaran ini harus diputus? Tidak mengherankan jika masyarakat menyambut kehadiran kami dengan antusias dan penuh harapan.

* * *

sumber
http://www.doctorshare.org/index.php/news/2015/07/06/152/dr-lie-dharmawan-quot-pengalaman-berkekurangan-dan-berkelebihan-quot.html

https://www.facebook.com/pages/DoctorSHARE/45642072765?fref=photo



,
Silahkan baca artikel terkait lainnya

0 komentar: