Mengamati Dan Belajar



7 Juli 2015
Oleh: dr. Lie A. Dharmawan, PhD, FICS, SpB, SpBTKV

Ini adalah kunjungan saya ketiga kalinya ke Kabupaten Intan Jaya, Papua yang baru dimekarkan sejak tahun 2008 dan terdiri dari 8 distrik. Ibukota Kabupaten Intan Jaya adalah Sugapa.

Kabupaten ini terletak di pegunungan tengah dan hanya dapat dicapai dengan pesawat perintis yang mendarat di Sugapa. Landasan pesawat sepanjang 600 meter adalah satu-satunya ruas jalan beraspal di seluruh kabupaten.

Kabupaten Intan Jaya terletak pada ketinggian kurang lebih 2.000 meter di atas permukaan laut. Sugapa terletak pada altitude kurang lebih 2.200 meter di atas permukaan laut. Tidak heran udara di sini sangat dingin. Pagi hari temperatur bisa berada di bawah 10 derajat Celcius. Angin sangat dingin.

Air yang digunakan penduduk untuk MCK adalah air tadah hujan atau kadang air sungai. AMDK (Air Minum Dalam Kemasan) sangat mahal. Sebotol air mineral 330 ml dihargai Rp 25.000. Sebungkus mie instan Rp 5.000, satu liter bensin Rp 50.000. Ini terjadi karena satu-satunya akses mencapai Sugapa hanya dengan pesawat perintis yang hanya dapat membawa 850 kg barang sekali terbang.

Tiket pesawat pun tidak murah. Dari Nabire atau Timika, seorang penumpang harus membayar sekitar Rp 2.750.000 untuk waktu tempuh sekitar satu jam. Sebaliknya, dari Sugapa ke Nabire atau Timika, Anda harus membayar sekitar Rp 1.750.000 agar bisa terbang.

Di Sugapa terdapat sebuah puskesmas dengan tiga dokter umum dan seorang dokter gigi. Untuk mendapatkan pelayanan di puskesmas ini, pasien dari desa-desa sekitar ada yang harus berjalan kaki beberapa jam atau bahkan beberapa hari.

Transportasi darat hanya mengandalkan ojek sepeda motor yang biasanya diawaki oleh pendatang dari Sulawesi Selatan. Untuk jarak tempuh sekitar 25 kilometer, misalnya antara Sugapa-Gagemba, seorang penumpang harus merogoh kocek Rp 300.000 sekali jalan. Itu pun di beberapa ruas jalan penumpang harus turun dan berjalan kaki. Jarak 25 kilometer pun ditempuh dalam dua jam.

Antusiasme masyarakat untuk berobat ke manapun kami pergi selalu besar. Logis.

Dalam pelayanan medis, kami selalu membagi-bagikan obat cacing untuk anak dan vitamin untuk orang dewasa/anak-anak. Operasi minor kami lakukan. Kami pun memberikan penyuluhan, biasanya PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat).

Pengalaman kami menunjukkan bahwa hampir tidak ada anak SD yang mempunyai sikat gigi di rumah. Dari 110 anak SD yang kami survei, hanya seorang yang punya sikat gigi. Kami pun membagi-bagikan sikat gigi dan odol agar mereka pergunakan di rumah.

Kami pun berpesan kepada kepala sekolah agar anak-anak ini diwajibkan untuk sikat gigi di rumah setiap hari dua kali. Akankah mereka ikuti? Mengubah kebiasaan itu susah namun kita harus memulainya.

Menggunakan alas kaki pun bukan merupakan kebiasaan bagi penduduk di pegunungan ini. Bukan hanya murid sekolah, tapi juga orang dewasa. Saya bahkan bertemu beberapa sarjana lulusan Jawa dan Sulawesi yang setelah kembali ke kampung halamannya kembali tidak mengenakan alas kaki.

Mandi merupakan hal yang jarang dilakukan karena sulitnya mendapatkan air dan dinginnya udara.

Walaupun kami baru melakukan dua kali pelayanan medis di pegunungan tengah Papua namun beberapa kesimpulan awal sudah dapat ditarik.

Berbeda dengan pelayanan ke banyak pulau-pulau kecil dan desa-desa/kampung-kampung di pesisir Papua yang kami lakukan dengan Rumah Sakit Apung doctorSHARE, pelayanan di pegunungan dengan proyek Dokter Terbang doctorSHARE lebih sulit.

Perekonomian penduduk di pesisir relatif lebih baik dibandingkan saudara kita yang hidup di pegunungan. Banyak warga pendatang dari berbagai pelosok tanah air hidup di pesisir Papua. Kota-kota besar yang rata-rata berada di tepi pantai tidak berbeda dengan kota-kota besar yang dapat kita jumpai di bagian barat Indonesia seperti Jayapura, Timika, Sorong, dan lain-lain.

Perekonomian mereka yang hidup di pegunungan sulit “didongkrak” karena infrastruktur yang teramat jelek seperti jalan yang belum tersedia atau dalam kondisi memprihatinkan.

Walaupun secara geografis Desa Gagemba (misalnya) adalah daerah yang subur, namun hasil bercocok tanam yang mereka hasilkan seperti keladi, kol, dan markisa tak dapat dijual ke daerah lain karena sulit dan mahalnya ongkos transportasi. Apa yang mereka hasilkan hanya untuk konsumsi keluarga sendiri.

Prasarana lainnya seperti air bersih, listrik, apalagi internet tidak tersedia sama sekali.

Tidak heran, beberapa sarjana yang sempat kami temui masih menganggur tanpa pekerjaan. Walaupun pengalaman kami di daerah-daerah tertentu belum banyak, pengamatan yang kami lakukan menghasilkan beberapa pemikiran.

1.       Prasarana jalan harus diadakan, setidaknya diperbaiki
Walaupun jalan belum beraspal namun sebenarnya dapat dilalui kendaraan tradisional seperti gerobak sapi. Bagaimana mungkin jarak 25 kilometer harus ditempuh dua jam dengan ojek sepeda motor? Di beberapa ruas jalan, penumpang bahkan harus turun dan berjalan kaki. Bayangkan kalau itu seorang pasien atau ibu hamil yang akan melahirkan. Selain itu, ongkosnya terbilang mahal yakni Rp 300.000/orang.

2.       Ketersediaan air harus ada
Bukannya tak ada air, tapi perlu dipikirkan bagaimana menghadirkannya ke honai-honai (rumah-rumah penduduk) agar tenaga medis tidak hanya menganjurkan mandi dan sikat gigi. Setidak-tidaknya untuk beberapa honai ada MCK yang memenuhi standar minimum.

3.       Modifikasi honai demi kesehatan
Saya sudah beberapa kali masuk honai, baik honai Suku Moni maupun Suku Dani. Honai mereka pendek-pendek tanpa ventilasi. Di tengah honai dipasang perapian untuk memasak sekaligus mengusir hawa dingin. Saya tidak tahan berada di dalamnya walau hanya lima menit. Mata perih, nafas sesak. Tak heran, banyak penduduk sakit mata dan ISPA.

Jalan keluar harus dicarikan.

Salah satu cara yang dapat ditempuh misalnya adalah dengan membuat sebuah tungku mirip fire place dengan cerobong keluar atap rumah.

Kami berkesimpulan bahwa perbaikan kesehatan masyarakat di daerah terisolasi harus dilakukan secara bersamaan oleh seluruh stakeholders pembangunan.

* * *


sumber
http://www.doctorshare.org/index.php/news/2015/07/06/153/mengamati-dan-belajar.html

Silahkan baca artikel terkait lainnya

0 komentar: